This Is All About My Mirror

SUCI NUR INDAH SARI

Sabtu, 10 Desember 2011

Jeya dan Mey

24 April 1960

Jeya adalah seorang anak kecil yang hidupnya tidak selayak anak-anak sekolah dasar pada umumnya, dia sangat pendiam kadang menjauh dari teman-teman sebayanya yang seharusnya
pada saat umur 11tahun ini bermain bola sepulang sekolah. Jeya termasuk anak yang pintar disekolahnya  dan terbukti ia mampu meraih beasiswa lalu masuk ke sekolah yang elite. Ayahnya
adalah seorang tukang cukur dan ibunya adalah seorang buruh cuci yang bekerja dirumah salah satu teman sekolahnya. Mereka hidup sangat sederhana, banyak sekali yang mencemoohkan tentang
pekerjaan kakak Jeya sebagai perempuan malam di kota besar, Korea. Jeya selalu mengikuti semua omongan Ayah dan Ibunya.

Jeya memiliki teman sekaligus tetangga persis samping rumahnya sebut saja Mey. Mereka sudah hidup bersama sejak orangtua mereka masih mengandung janin mereka berdua, sangat lama.
Garis hidup Mey hampir serupa dengan Jeya. Ayah Mey lebih beruntung karena ia bekerja disalah satu toko penyedia jasa laundry yang lumayan jauh jaraknya dari rumah dan
Ibu Mey adalah seorang pedagang sayur di kampungnya. Tetapi sifat dan karakter Mey sangat bertolak belakang dengan Jeya karena Mey sangat ceria dan hampir tidak pernah merasa sedih
apalagi menangis. Ia ingat pesan Ibunya kalau ingin menjadi seorang wanita yang kuat kita tidak boleh lemah dan cengeng. Setiap harinya mereka selalu memakai mobil jemputan khusus dari
sekolah, Mey dan Jeya diantar Ibu mereka yang setia tiap pagi membuatkan bekal makanan walaupun hanya dengan kacang atau sayur. Tidak pernah Jeya dan Mey berpisah kecuali sewaktu
mereka berlibur ke rumah neneknya masing-masing atau sewaktu mereka tertidur.

.....................

28 Maret 1960

Tibalah hari yang ditunggu-tunggu orangtua mereka, pembagian raport kelas5. Ibu Jeya tidak menyangka kali ini Jeya berhasil mencapai nilai yang memuaskan dan melebihi dari anak-anak
yang lain. Begitupun dengan Mey, hanya, Mey sering sakit dan raport Mey menjadi tidak begitu terlihat indah karena ada angka 14-sakit diraportnya paling bawah dan ada tulisan dari Ibu Guru
Mey "Lebih rajin lagi sekolah, lekas sembuh kamu berbakat Mey". Mey selalu ingat kata-kata Ibu Guru Mey itu makanya setiap ia sakit, sebisa mungkin ia tetap masuk sekolah bersama Jeya.
Pementasan seni pun dimulai, ini saatnya Mey maju menjadi salah satu murid yang mewakili kelas 5A untuk membawakan tarian khas Korea (karena memang bakat tari ini berasal dari Ibu Mey).
Dengan ragu-ragu tapi pasti Mey mulai mengayunkan tangannya mengikuti iringan  musik yang diputar melalui kaset. Saat itu juga Jeya naik ke atas panggung dan memberikan
seikat bunga mawar dari Ibu Mey untuk Mey.
Saat pulang dari pembagian raport mereka berdua berlarian kecil lebih mirip seperti sedang kejar-kejaran menuju ke arah pohon dilapangan biasa mereka duduk lalu Mey mulai berbicara,
"Jeya.."
"Ya?"
"Hari ini aku sangat senang"
"Aku juga."
"Kamu senang karena apa?"
"Aku senang karena aku bisa membuat Ibuku tersenyum melihat nilai raportku."
(Mey tersenyum)
"Apa kamu tidak mau menanyakan apa yang membuat aku senang hari ini Jeya?"
"Apa yang membuat kamu senang hari ini?"
"Kamu.."
"Aku? Kenapa?"
"Karena aku bisa tersenyum."
"Cuma itu?"
(Mey tersenyum kembali)
"Apa kamu mau berjanji sesuatu untukku Jeya?"
"Membelikan kamu permen?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Apa nanti kalau kita sudah besar kamu mau menjadi seperti Ayahku dan aku menjadi seperti Ibuku? Kalaupun aku nanti tidak bersamamu, aku ingin kamu mencari gadis yang baik, bukan gadis kecil
seperti aku."
"Maksudmu?"
(Mey  tersenyum dan mengedipkan mata kepada Jeya, lalu mereka berdua tertawa.)

..................

5 April 1960

Jeya duduk dibawah pohon dan hanya memandang kosong kedepan entah sedang memandang anak-anak lain bermain bola atau sedang merasa kesakitan karena Mey melihat wajah Jeya lebam
seperti orang yang habis berkelahi.
"Ada apa dengan wajah kamu Jeya?"
(menggelengkan kepala)
"Cerita sama aku Jeya. Kamu habis berantem sama Jacki? Kenapa?"
"Tidak tahu."
"Coba aku lihat."

Mey tidak tega melihat Jeya seperti ini, ia ingin Jeya bangun dan ikut bermain bola bersama teman-teman yang lain. Setidaknya Jeya bisa tersenyum kembali.
"Ayo kita ikut main bola sama mereka Jeya!"
"Tidak."
"Ayo dong Jeya, kamu tidak boleh seperti ini terus. Masa hanya karena Jacki kamu jadi lemah?"
(mulai bangun dari duduknya dengan ragu tapi ia langsung berlari dan bergabung dengan anak-anak yang lain.)
Mey tersenyum.

..................

10 April 1960

Hari ini sekolah mereka mulai diliburkan sekitar 2minggu untuk naik ke kelas 6 nanti. Entah kenapa Jacki tiba-tiba datang ketempat bermain Mey dan Jeya yang sedang menikmati udara sore ini.
Jacki mengajak Jeya untuk ikut bersama mereka berlibur berladang dikampung halaman Jacki tentunya dengan gank-nya. Mey tidak bisa menahan Jeya jika ia memang ingin ikut, karena Jacki adalah
satu-satunya anak disini yang ditakuti oleh semua anak-anak. Mey bukan takut untuk melawan perintah Jackie itu, Mey diam karena ia tidak ingin membuat Jeya sedih. Mey selalu menjaga perasaan
Jeya walaupun Jeya tetap dingin dan kurang acuh kepada Mey.
Akhirnya waktunya Jeya untuk pergi bersama Jacki dan ganknya pun datang, hari ini. Mey hanya berpesan 'pulanglah dengan diri dan sifatmu Jeya'. Jeya pun pergi.

.................

Sewaktu Jeya pergi Mey tidak pernah bermain keluar rumah sesering waktu bersama Jeya. Ia lebih sering bermain boneka atau membantu Ibunya berjualan. Teman-temannya sudah sering datang
untuk mengajaknya bermain sepeda tapi Mey tidak mau dengan alasan ingin menunggu Jeya pulang.

................

21 April 1960

Mey diberitahu Ibunya kalau Jeya baru saja sampai setelah 10hari pergi merantau kerumah nenek Jacki. Mey dengan semangat dan langsung berlari kencang ke lapangan ia tau kalau Jeya sudah
menunggunya dibawah pohon itu, pohon yang biasa menjadi tempat mereka berdua menghabiskan waktu. Setelah Mey mengambil nafas , ia terdiam sebentar dan melihat ke sekelilingnya yang
ternyata tidak ada sosok Jeya dibawah pohon ini, kosong. Mey bertanya kepada teman-temannya yang sedang bersepedah apa ada yang melihat Jeya disini atau adakah pesan untuknya dari Jeya.
Teman-temannya bilang 'tidak'. Mey berlari lagi kembali kerumah, tetapi bukan kerumahnya melainkan kerumah Jeya tepat berada disamping rumahnya. Ia mengetuk pintu dan Ibu Jeya keluar,
"Mencari Jeya, Mey?"
"Iya Bu."
"Tadi Jeya langsung pergi lagi sehabis makan katanya pergi kerumah Jacki. Coba saja cari dilapangan Mey."
"Tadi Mey ke lapangan tapi tidak ada Jeya Bu."
"Apa mau tunggu disini Mey?"
"Tidak, Mey akan cari Jeya ke lapangan lagi. Permisi."
Mey pun lagi-lagi berlari ke lapangan.

Dan betul kali ini wajah Mey terlihat berseri dan rasa lelah yang ia rasa sejak tadi tiba-tiba hilang karena ia melihat ada Jeya disana, ditengah lapangan. Tapi..
Mey bingung kenapa Jeya terlihat marah? Kenapa Jeya bergabung dengan kelompok Jacki dan memarahi anak-anak yang sedang bermain dilapangan? Bukankah mereka adalah teman main Jeya?
Apa Jeya sudah lupa? Atau.. Atau..
Mey menghampiri anak-anak itu yang mulai melawan perilaku Jacki dan teman-temannya. Mey bertanya,
"Kenapa kamu mendorong dan memarahi mereka Jeya? Mereka semua teman kamu!"
"Bukan! Ini temanku sekarang! Jacki."
"Apa kamu sudah lupa? Kamu benar-benar bukan Jeya yang dulu."
"Tidak usah berbicara lagi denganku!"
(Jeya mendorong tubuh Mey. Mey menangis.)

Jeya berlari mengahampiri Jacki, dia menengok kebelakang ingin sebenarnya melihat keadaan Mey disana. Tapi Jeya tetap ingin menjadi teman Jacki. Kasar atau tidak menjadi teman.
Jacki pun berkata,
"Sudahlah Jeya, wanita memang seperti itu. Kata Ayahku semua wanita sama aja, gampang sekali menangis dan besok juga dia tidak akan apa-apa. Tenanglah."
(Jeya mengangguk)
Hanya teman-teman Mey yang biasa bermain sepedahlah yang mencoba membangunkan Mey.

................

24 April 1960

Hari ini ada yang berbeda. Mey. Mey tidak lagi berteriak-teriak didepang rumah Jeya untuk mengajak Jeya berangkat ke sekolah bersama-sama, sekarang Jeya sudah lupa dengan semuanya. Dan
memang sejak kejadian kemarin keluarga Mey tidak terlihat, Ibu Mey tidak berjualan didepan rumah. Jeya berfikiran positif walaupun didalam hatinya ia sangat mengkhawatirkan keadaan Mey
karena kemarin ia sudah jahat memperlakukan Mey.

................

27 April 1960

Mey masih belum terlihat berkeliaran.
Jeya mulai menanyakan kepada orangtuanya kenapa rumah Mey masih kosong, apa mereka sekeluarga pindah rumah? Ayah Jeya mengatakan kalau tadi pagi Ibu Mey menelefon, Mey ada di
rumah sakit. Jeya heran ada apa dengan Mey? Ayahnya menjawab, Mey sudah hampir 3hari koma tidak sadarkan diri karena penyakit Mey tambah parah dan kritis.
Jeya meneteskan air mata. Ia sangat ingin menjenguk Mey, tetapi ia ingat kalau ia sekarang sudah tergabung dalam kelompok anak-anak yang ditakuti satu sekolah dan Jeya mulai terkenal.
Jeya berbicara dalam hati kalau nanti Mey sudah sembuh ia berjanji akan memperlakukan Mey dengan baik dan tidak akan kasar lagi.
Tetapi semua itu terlambat..

..................

18 Mei 1960

"Jeya bangun! Jeya bangun sayang!" Ibu Jeya membangunkan Jeya pelan tapi pasti.
(Jeya membuka mata)
"Ada apa Bu?"
"Mey sudah tidak ada."
"Mey?"
"Iya, sabar Jeya tabahkan hatimu nak."
Jeya diam. meneteskan airmata perlahan. Menangis sekencang-kencangnya. Berlari menuju rumah Mey disebelah.
Ternyata disana sudah banyak orang dewasa yang mulai melayat jasad Mey, rumah Mey yang kecil itu pun mulai terlihat sesak dan penuh dengan warna hitam. Ia melihat ada beberapa teman main
nya dulu bersama Mey. Mereka menatap marah kepada Jeya mentap penuh dendam dan kesal entah mengapa. Jeya bingung dan takut.
Salah satu temannya memberitahu Jeya,
"Ini semua salahmu Jeya!!!!!"
"Kenapa aku? Ada apa dengan Mey?"
"Mey meninggal karena ulahmu!"
"Apa salahku?!"
"Kamu membunuh Mey! Kamu mendorong Mey sampai Mey jatuh menangis dilapangan itu. Ingat? Mey hanya bisa diam tidak ingin kamu lebih marah ia mencoba mengejarmu naik sepeda kerumah
Jacki untuk meminta maaf tapi penyakit Mey kambuh, Mey pusing lalu jatuh dijalan kepalanya membentur batu  akhirnya Mey koma dan sekarang meninggal! Kamu jahat Jeya!"
Jeya tertunduk kaku, menangis, berlari ke arah jasad Mey yang telah berada didalam peti memakai gaun yang sangat cantik. Jeya meminta maaf kepada jasad Mey atas apa yang telah ia perbuat.
Jeya mencium tangan kanan Mey dan bernyanyi kecil lagu yang biasa mereka nyanyikan.
Jeya juga meminta maaf kepada orangtua Mey dan mereka bilang ini bukan salah Jeya tapi memang ini sudah menjadi kehendak Tuhan. Dan Jeya berjanji kepada kedua orangtuanya kalau ia tidak
akan melakukan hal bodoh seperti  itu lagi, ia akan menjadi anak yang baik. Untuk keluarganya dan untuk Mey.

Tidak berapa lama persiapan pemakaman Mey pun akan segera dimulai, Mey dimakamkan dipemakaman khusus keluarga Mey. Kata terakhir yang Jeya katakan didepan jasad Mey adalah,
'Aku janji akan menepati janji kita'.

................

27 Mei 1960

Hari ini Mey seharusnya berusia 12tahun, ia memang lebih tua dari Jeya tetapi sifat kanak-kanaknya lebih melekat pada Mey. Jeya ingat hari ini. Biasanya Ibu Mey mengundang Jeya untuk datang ke
rumahnya sekedar ikut makan kue merayakan hari ulangtahun Mey ini, tapi sekarang sudah tidak bisa.. Keluarga Mey pun pindah sejak 7hari kepergian Mey entah kemana. Mungkin mereka tidak
mau larut terlalu lama dalam kesedihan atas perginya Mey anak satu-satunya mereka. Jeya mengerti.
Jeya berniat untuk datang ke makam Mey siang ini membawa kalung Mey yang masih tersimpan rapih dikotak yang dikubur dekat pohon. Jeya mulai menangis lagi.

................

1 Agustus 1981

Usia Jeya sekarang sudah menginjak 32tahun. Dia sudah menjadi seorang lelaki tampan yang bisa menghasilkan uang sendiri dengan bekerja disalah satu kantor swasta di Korea. Ia menjabat
sebagai direktur keuangan disana, bagaimana tidak Jeya lulus SMA mendapatkan kembali beasiswa ke USA selama 4tahun disana. Kini Jeya tinggal menikmati saja hasil kerja
kerasnya selama ini bersama keluarganya. Sayang Mey tidak bisa ikut merayakan ini.
Jeya juga sudah menikah dan mempunyai 1 anak yang sangat lucu, anaknya baru berusia 1 tahun 2bulan. Sangat lincah dan sudah bisa menyebut Ibu. Dia bernama Mey, Meyling Chiansieu. Ya,
itu adalah nama seorang gadis kecil yang dulu pernah hidup bahagia bersama Jeya. Bukan maksud Jeya untuk menghidupkan kembali sosok Mey tapi Jeya hanya ingin sifat dan dikap anaknya
seperti Mey yang lemah lembut, ceria, tidak lemah, dan selalu bisa membuat oranglain tersenyum. Cuma itu.
Istri Jeya pun tahu semua tentang Mey dan masalalu mereka berdua, istri Jeya mengerti alasan kenapa suaminya memberi nama itu kepada anaknya. Istrinya sangat baik, tetapi tetap dihati Jeya
Mey lah satu-satunya wanita yang bisa membuat Jeya bahagia dan mungkin sekarang Mey hidup didiri istri dan anaknya.
Jeya sudah menepati janjinya kepada Mey. Jeya ingin Mey tau kalau Jeya sangat mencintainya seperti Jeya mencintai istrinya. Jeya ingin Mey tenang disana, ia yakin kalau Mey juga bahagia melihat
dirinya sekarang sudah seperti ini. Bisa dibanggakan.

..................

18 Mei 1982

Jeya menyempatkan diri untuk menulis dibawah pohon kenangan mereka sebelum Jeya pergi,

'Teruntuk Mey..

Hari ini aku akan pindah keluar kota bersama anak dan istriku, aku bukan ingin melupakan semua tentangmu tapi aku hanya ingin memulai hidup yang baru setelah sekian lama aku terikat tentang
seluruh perasaanku kepadamu. Aku ingin melihat anakku tumbuh dewasa bersama dengan usiaku nanti yang beranjak tua. Aku ingin istriku mendapatkan perhatian dan kasih sayang penuh dariku
tanpa teringat sosokmu yang aku cintai. Mengertilah Mey, gadis kecilku hanya kamu. Dan sekarang gadis dewasaku hanya istriku. Aku sudah menepati janjiku sewaktu dulu, aku sudah mendapatkan
seorang gadis, bukan gadis kecil. Bahkan sekarang aku memiliki seorang gadis mungil dia ku beri nama sesuai dengan namamu. Aku yakin kamu tidak keberatan untuk itu.
Terimakasih atas semua yang kamu ajarkan kepadaku Mey, atas semua pelajaran hidup. Sekarang aku mengerti bagaimana cara bernyanyi tanpa melihat teks, aku tau bagaimana bermain bola
tanpa memakai sepatu ternyata itu menyenangkan. Maafkan aku yang banyak berbuat salah kepadamu, membuat kamu menangis dan tidak pernah memikirkan perasaanmu sampai hari ini aku
belum sempat memberitahumu langsung kalau aku mencintai kamu seutuhnya. Tenanglah disana, jangan khawatirkan aku. Aku sudah besar. Kali ini bukan hanya aku yang mencintaimu,
tetapi  istriku juga. Kami mencintaimu Mey.

Salam,
Jeya kecilmu

-------------------------------------- selesai